Sabtu, 17 Februari 2024

Menavigasi Framing dan Hasil Quick Count dalam Pilpres 2024: Sebuah Pandangan Kritis


Oleh Dr Rd Ahmad Buchari, SIP MSi.
/Dosen Departemen Administrasi Publik, Pakar Administrasi Pembangunan Desa dan Kepala Pusat Desentralisasi Dan Pembangunan Partisipatif FISIP Unpad

ZONASIONAL - *Pemahaman Mendalam tentang Quick Count dan Framing*

Dalam dinamika pemilihan presiden Indonesia 2024, terjadi fenomena yang cukup menarik terkait dengan penerapan dan interpretasi hasil Quick Count (QC).

Peristiwa ini menciptakan narasi yang menggambarkan kompetisi seolah-olah sudah dimenangkan oleh pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, dengan persentase suara yang dilaporkan mencapai 56-58%, sebuah angka yang signifikan jika dibandingkan dengan pesaingnya.

Narasi ini menimbulkan diskusi tentang bagaimana QC memanipulasi persepsi publik terhadap hasil pemilu.

Fakta yang perlu dipahami adalah bahwa QC merupakan alat analisis statistik yang dirancang untuk memberikan gambaran awal tentang hasil pemilu berdasarkan sampel tertentu dari tempat pemungutan suara.

Meskipun berguna, QC memiliki keterbatasan dan margin of error yang harus dipertimbangkan dalam interpretasinya.

Permainan Data Statistik

Bentuk permainan Framing Brain Wash Paska 14 Februari saat ini adalah Glorifikasi Quick Count.

Lihat bagaimana hasil seluruh QC semuanya menangkan Prabowo-Gibran. QC membuat framing bahwa Pilpres 2024 satu putaran dengan kemenangan mutlak untuk pasangan 02.

Lembaga yang memajang QC sebut saja LSI Denny JA, Hasan Hasbi Cyrus, Indikator Burhanuddin, SRMC Saiful Muljadi, Poltracking, Voxpopuli semuanya yang telah lama melakukan framing 1 putaran. Semua lembaga mereka disebut-sebut diokrestrasi pihak tertentu yang berkontestasi.

Refleksi atas Lembaga Survei dan Reputasi Mereka

Beberapa lembaga survei, seperti Voxpopuli, LSI Denny JA, dan lain-lain, yang memiliki sejarah panjang dalam melakukan QC, kembali mendapat sorotan terkait dengan hasil pemilu 2024.

Pengalaman mereka dalam pemilu sebelumnya, termasuk pilkada DKI 2017 dimana beberapa lembaga ini membuat prediksi yang tidak akurat, menambahkan lapisan kompleksitas dalam memahami motivasi dan akurasi di balik angka-angka yang dirilis.

Penting untuk diingat bahwa lembaga survei ini beroperasi dalam lingkungan yang sangat kompetitif dan dinamis, dimana integritas dan kredibilitas menjadi aset utama.

Kesalahan dalam prediksi atau framing dapat berdampak serius terhadap reputasi mereka.

Sebut saja QC LSI Denny JA, menyatakan bahwa pasangan Anies-Sandi berada di posisi buncit dengan perolehan suara 21,4%, sementara pasangan Agus-Sylvi unggul dengan 36,7% dan Ahok-Djarot dengan 32,6% Namun, hasil ini tidak sesuai dengan hasil akhir yang menunjukkan keunggulan pasangan Anies-Sandi.

Dimana akhirnya pasangan Anies-Sandi unggul jauh dengan raihan suara 57,95% dibandingkan Ahok-Djarot yang hanya meraih 42,05% suara,

Respon Publik yang Berinformasi dan Proaktif

Dalam menghadapi dinamika QC dan narasi yang berkembang, respons terbaik dari publik adalah dengan pendekatan yang berinformasi dan kritis.

Pertama, penting bagi masyarakat untuk memahami metodologi di balik QC, termasuk bagaimana sampel dipilih dan apa margin of error yang ada.

Kedua, masyarakat harus menjaga sikap kritis terhadap semua informasi yang diterima, termasuk mempertanyakan sumber dan potensi bias yang mungkin mempengaruhi hasil yang disajikan.

Kesadaran ini sangat penting dalam menjaga integritas proses demokratis, dimana hasil akhir pemilu ditentukan oleh penghitungan suara yang resmi dan transparan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), bukan oleh prediksi awal atau framing oleh lembaga survei.

Sebagai pakar kebijakan publik, saya menilai semua lembaga survei yang merilis QC tersebut sedang melakukan permainan framing brain wash tingkat massal yang sangat besar dan mengerikan.

Saya tidak begitu terkejut karena sudah memprediksi kejadian seperti ini.

Saya menulis ini untuk mengingatkan publik agar tidak terjebak pada permainan ini.

Tujuan QC lembaga survey tersebut adalah framing bahwa pemilu sudah selesai dan pemenang sudah diketahui padahal maksud sejati mereka adalah melemahkan usaha KPU dan Bawaslu serta petugas KPPS untuk berkerja ekstra serius dan hati-hati karena hasil kerja merekalah yang menentukan siapa menang dan siapa salah.

Oleh Karena itu, publik harus tetap ingatkan seluruh petugas KPPS di semua tps untuk tetap waspada dan bekerja dengan baik.

Publik yang terlibat sebagai saksi TPS juga tidak boleh lengah dan lalai karena sebenarnya pemenangnya belum ditentukan dan itu semua tergantung pada kesaksian mereka di tingkat TPS di seluruh Indonesia.

LEMBAGA SURVEI MELEMAHKAN DEMOKRASI INDONESIA

Saya bukan tergolong mereka yang anti lembaga survei. Lembaga survey yang tidak ada konflik kepentingan lebih patut didengar daripada mereka lembaga survey yang menjadi konsultan politik kemenangan dengan motivasi uang bukan edukasi publik.

Oleh karena itu, lembaga survey yang melakukan QC saat ini merupakan lembaga survey yang membodohi publik dan bermaksud jahat terhadap demokrasi Indonesia karena itu publik harus abaikan dan hanya percaya pada hasil KPU berdasarkan proses yang Jurdil yang saat ini sedang diperjuangkan dari tingkat TPS, kelurahan, kabupaten / kota, propinsi dan tingkat nasional.

*Kesimpulan: Menghargai Proses, Menjaga Demokrasi*

Akhirnya, diskusi ini membawa kita pada penghargaan yang lebih dalam terhadap proses demokrasi kita yang sedang berjalan.

Quick Count dan lembaga survei memainkan peran dalam ekosistem demokrasi kita, namun tidak boleh menggantikan atau mendiskreditkan proses pemilihan yang resmi dan transparan.

Dengan mempertahankan sikap kritis dan berinformasi, publik dapat membantu menjaga kekuatan dan integritas demokrasi.

Dalam perjalanan demokrasi, setiap suara penting dan setiap tahapan proses harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab dan kehati-hatian, untuk memastikan bahwa hasil akhir mencerminkan kehendak rakyat secara adil dan jujur.

(Mang Sambas)

Previous Post
Next Post

0 Comments: