Politik Harmoni: Muhammadiyah Untuk Mencerahkan Semesta

7 min read


Disampaikan pada Acara Dialog Kebangsaan  Muhammadiyah Garut

(Penguatan Dakwah dan Peran  Muhammadiyah di Wilayah  Kebangsaan),

Oleh: Dr. Rd Ahmad Buchari, S.IP.,  M.Si (Dosen Departemen Administrasi Publik FISIP Unpad)

IFTITAH

Politik menurut Ibn Qoyyim Al-Jauziah idealnya berorientasi kepada aqrob ila as- sholah wa ab’ad’an al-fasad, yakni mendekatkan kepada segala hal yang baik serta menjauhkan diri dari segala yang yang fasad. Politik dalam perspektif Muhammadiyah adalah bagian dari muamalah duniawiyyah yang harus diurus dalam kerangka menjalankan dan mewujudkan ajaran Islam dalam kehidupan umat dan bangsa. Muhammadiyah berprinsip bahwa politik pada dasarnya boleh, kecuali hal yang dilarang. Artinya di satu pihak diberi keleluasaan, tetapi tidak berarti serba boleh dan serba bebas tanpa dasar nilai ajaran Islam itu sendiri.

Dalam Khittah Denpasar 2002, dijelaskan antara lain bahwa garis perjuangan politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang didalamnya terkandung nilai- nilai dan orientasi bagi tindakan setiap warga persyarikatan, dimana Muhammadiyah memilih perjuangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui usaha pembinaan atau pemberdayaan masyarakat guna terwujudnya masyarakat madani yang kuat sebagaimana tujuan Muhammadiyah, yakni mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Sedangkan hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan kenegaraan sebagai proses dari hasil dan fungsi politik pemerintahan ditempuh melalui pendekatan-pendekatan yang secara tepat dan bijaksana sesuai prinsip-prinsip perjuangan kelompok kepentingan yang efektif dalam kehidupan negara yang demokratis. Dalam sisi lain Muhammadiyah memberikan kebebasan bagi setiap anggota persyarikatan untuk menggunakan hak politiknya dalam kehidupan politik yang sesuai dengan hati masing-masing. Penggunaan hak politik dilaksanakan secara rasional dan kritis, sejalan dengan misi dan kepentingan Muhammadiyah, demi kemaslahatan bangsa dan negara.

Dalam Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM) disebutkan pula bahwa warga Muhammadiyah perlu mengambil bagian dan tidak boleh apatis (masa bodoh) dalam kehidupan politik melalui berbagai saluran secara positif sebagai wujud bermuamalah sebagaimana dalam keidupan lain dengan prinsip-prinsip etika atau akhlak islami dengan sebaik-baiknya dengan tujuan membangun masyarakat Islam yang sebena-benarnya. Perlu diperhatikan   pula bagi setiap warga persyarikatan bahwa prinsip bepolitik harus ditegakkan sejujurnya dan sesungguhnya, yaitu menunaikan amanat dan  tidak boleh  menghianati  amanat, menegakan  keadilan, hukum dan kebenaran, ketaatan kepada pimpinan sejauh sejalan dengan perintah Allah dan Rasul, mengemban risalah Islam, menunaikan amar ma’ruf nahi munkar, menggajak orang lain beriman kepada Allah, mempedomani Al-Qur’an dan As-Sunnah, mementingkan kesatuan dan persaudaraan umat manusia, menghormati kebebasan orang lain, menjauhi fitnah dan kerusakan, menghormati hak hidup orang lain, tidak berkhianat dan melakukan kedholiman, tidak mengambil hak orang lain, berlomba dalam kebaikan, bekerjasama dalam kebaikan dan ketaqwaan serta tidak bekerjama (konspirasi) dalam melakukan dosa dan permusuhan, memelihara hak baik antara pemimpin dan warga Muhammadiyah, memelihara kemaslahatan umum, hidup berdampingan dan damai, tidak melakukan fasad dan kemunkaran, mementingkan ukhuwah ilamiyyan dan prinsip-prinsip lain yang maslahat, ihsan dan ishlah.

Kata kunci dari elaborasi ideologi Muhammadiyah tentang perilaku politik bagi warga persyarikatan di atas adalah kesadaran untuk hidup harmoni secara kolektif. Kesadaran ini dibangun oleh hadirnya pribadi-pribadi yang sehat (healthy personality), dimana dirinya terbebas dari sifat kebencian dalam segala konteknya, faham akan dirinya tentang makna distingtif identity, dimana seseorang memahami secara benar tentang perbedaan dengan orang lain (mengapa beda dan harus sikap apa yanglayak dilakukan ketika merasa beda), sehingga terang pula dalam jiwanya apa makna sama dan persamaan. Emosinya begitu terkontrol dalam kuatnya nilai, etika dan adab, ia pandai mengelola emosi sehingga tidak mengumbar kemarahan secara membabi buta, sampai-sampai melacurkan segala aturan konstitusi, dus apalagi ajaran agamanya untuk kepentingan syahwat siyasahnya. Syahdan dilain pihak justeru terlihat pandai pula mengeluh, mengadu, curhat kepada rakyat,  seolah dirinya adalah insan yang paling menderita di muka bumi, oleh karenanya apapun dilakukan dengan segala cara dan daya, jika perlu menghalalkan segala cara dibingkai dengan nyanyian kidung serta baju ‘agama’ untuk menutupi watak machivelismenya. Ada gejala dan tercium bau amis rezimintasi agama  dan oligar di ruang publik Indonesia.

Bagi pribadi yang sehat, tak terkecuali dalam berpolitik, bahwa arena ini adalah arena persahabatan, even tanding gagasan, rekam jejak, dan lomba amal shaleh, menyatukan banyak kekuatan, mempererat kekeluargaan, melatih sportifitas, dan ajang       fairplay dalam kontestasi. Lagi-lagi persahabatan adalah keharusan (necessarily), sekalipun melalui seleksi yang secukupnya. Inilah harmoni yang didambakan di tubuh persyarikatan, harmoni atas dasar dinamika dan ragam perbedaan, harmoni oleh sebab peluang tentang sama dan kesamaan, yakni sama- sama mengusung cita-cita yang sama,  sama-sama calegMu, yang tak lain adalah kaderMU, sebagai sama-sama anggota keluarga dari ideologi yang sama, sama-sama anak sah penerus, pelopor, dan pelanjut perjuangan cita-cita Muhammadiyah, terlepas dirinya kader genetik, otentik, pituin, ataukah akseleratif yang saat ini sama-sama ada di tubuh persyarikatan ini. Harmoni sekali lagi itu kebutuhan kita saat ini dan ke depan, ini pula lah yang menjadi keinginan kami induk persyarikatan dengan menghadirkan anda semua disini, jaga jarak kami sama, perlakuan kami akan sama, daya dorong dan daya  ikat  kami  harus  disatukan  menjadi  satu  kekuatan,  yakni harmoni.  Harmoni  is harmony, yakni “ibarat ruang kosong yang diisi bersama, karena ketidaksempurnaan dari hadirnya kita semua di persyarikatan, anak-anak zaman yang majemuk secara epstem perjuangan, lintas zaman, lintas generasi, lintas ilmu, dan bahkan lintas pilihan dan partai politiknya.”

URGENSI POLITIK BAGI PERSYARIKATAN

Nabi Muhammad SAW setelah membangun TAUHID umatnya, beliaupun membangun pemerintahan yang baik. Begitu juga dalam peperangan yang ada pada zaman beliau tak lepas juga dari strategi politik. Maka dalam hukum Islam dikenal dengan nama fiqih politik atau syi’asatul islamiyyah. Setidaknya  ada dua (2) tujuan pokok syi’asatul islamiyyah/syar’iyyah : pertama, iqomatuddin (menegakkan agama). Apa itu menegakkan Agama,  yakni membela Agama,  membela Hukum Agama, membela Syariat Agama, membela Syi’ar Agama, meletakkan ayat-ayat suci di atas ayat konstitusi. kedua, ri’ayatul ummah (mengayomi/melayani ummat). Mementingkan umat di atas kepentingan pribadi atau kelompok atau golongan; mensejahterakan umat,  menggunakan  kekayaan  alam  negerinya  semata-mata untuk  kesejahteraan ummat, bukan untuk kepentingan pribad/kelompok atau justeru digadai dan atau dijual ke asing atau aseng guna memenuhi ambisi pribadi atau kelompok konspirasinya, dan tentu saja justeru harus memberikan rasa aman pada kehidupan umat.

Dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah disebutkan bahwa maksud dan tujuan Muhammadiyah, yakni menegakkan   dan menjunjung tinggi Agama Islam yang sebenar-benarnya hingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Melalui prinsip dasar tersebut, klaim bahwa Islam merupakan agama yang memiliki misi rahmat bagi seluruh alam perlu diejawantahkan dalam kehidupan nyata. Kongkretisasi perwujudan itu, yakni beragama dengan baik dan benar, ketika diletakkan dalam konteks rahmat bagi seluruh alam, yang cakupannya ternyata sangatlah luas. Maka alam konteks inilah, K.H. Ahmad Dahlan  mengelaborasi banyak hal dalam perumusan maksud dan tujuan tersebut, termasuk didalamnya pendidikan, kesehatan, sosial, kebudayaan, hingga urusan politik. Nama-nama seperti K.H. Mas Mansyur mendirikan Partai Islam Indonesia, Ki Bagus Hadikusumo yang berperan aktif  di dalam BPUPKI, juga Kasman Singodimedjo hingga Prof. Amin Rais mendirikan PAN di era Reformasi sekaligus beliau dijuluki sebagai Bapak Reformasi, dan di era politik kekinian beliau mendirikanPartai Ummat. Inilah tokoh pioner sampai yang paling mutaakhir sebagai elite Muhammadiyah dalam berpolitik, meskipun mereka dalam panggung perpolitikan berangkat dari kapasitas secara individu.

Pekerjaan rumah Muhammadiyah saat ini sebagaimana dijelaskan   Bachtiar Effendy (Keharusan Tajdid Politik Muhmamadiyah, 2015:11), bahwa organisasi sekaliber Muhammaadiyah tidak  memiliki  kegairahan  dan semangat yang sungguh-sungguh dalam bidang dan urusan politik. Perihal substansi keterlibatan Muhammadiyah dalam politik adalah membangun kesadaran kolektif, bahwa politik itu sama mulianya dengan amal-amal usaha Muhammadiyah yang lain. Namun demikian persoalan budaya politik Muhammadiyah tidak lepas dari tiga hal berikut:

Pertama, sikap politik warga Muhammadiyah yang menganut politik adiluhung atau high politics (meminjam istilah Amin Rais) atau politik alokatif (istilah yang dipopulerkan Din Syamsuddin). Bagaimana dalam proses dan cara yang dilakukan untuk menegakkan sebuah sistem berdasarkan nilai-nilai agama. Kedua, etika politik politisi Muhammadiyah. Persoalan yang dihadapi  para politisi Muhammadiyah adalah nalar dan kesadaran untuk membaca problem imoralitas perilaku dalam berpolitik. Disinilah peran politik nahi munkar para politisi Muhammadiyah dituntut diperankan. Dan ketiga, tradisi politik Muhammadiyah, yang selalu mejaga jarak yang sama dengan partai politik, menjaga kedekatan yang sama, dan wacana mendirikan amal usaha politik Muhammadiyah.

Alla kuli hal, dalam urusan politik sesungguhnya Muhammadiyah sebagaimana Khittah Denpasar 2002, tetap memandang perjuangan politik praktis penting, mulia dan menjadi urusan dunia  (al-umur al-adunyawiyah), namun mediumnya harus tepat dan proporsional. Berikut kutipan isi khittah tersebut : Muhammadiyah adalah gerakan dakwah Islam ama ma’ruf nahi munkar dengan maksud dn tujuan mengakkan dan menjunjung tuinggi agama Islam sehingga terwujud Islam yang sebenar-benarnya. Muhammadiyah berpandangan bahwa agama Islam menyangkut seluruh aspek kehidupan meliputi aqidah, ibadah, akhlak, dan muamalah duniawiyah yang merupakan satu kesatuan   yang utuh dan harus dilaksanakan dalam kehidupan perseorangan maupun kolektif. Dengan mengemban misi gerakan tersebut Muhammadiyah dapat mewujudkan atau mengaktualisasikan agama Islam  menjadi rahmatan lil’alamin dalam kehidupan di muka bumi ini.”

Muhammadiyah memandang bahwa peran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara   dapat dilakukan melalui dua (2) strategi dan lapangan perjuangan. Pertama, melalui kegiatan-kegiatan politik yang berorientasi pada perjuangan kekuasaan/kenegaraan (real politics) sebagaimana dilakukan oleh partai-partai politik atau kekuatan-kekuatan politik  formal di tingkat kelembagaan negara. Kedua, melalui kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang bersifat pembinaan dan pemberdayaan masyarakat maupun kegiatan-kegiatan politik tidak langsung (high politics) yang bersifat mempengaruhi  kebijakan negara dengan perjuangan moral (moral force) untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik di tingkat masyarakat dan negara sebagaimana dilakukan oleh kelompok-kelompok kepentingan (intrest groups).

Sejumlah agenda ke depan dan  secara  teorganisir mohon dikaji dengan seksama terutama oleh Lembaga Hikmah dan Kabijakan Publik Pimpinan Daerah Muhammadiyah Garut, diantaranya :

1.  Mengiventarisasi dan bersilaturahim secara intens dengan segenap kaderMU yang akan dan telah menjadi anggota legislatif (DPR, DPRD, dan DPD), eksekutif (gubernur, bupati, bahkan para kadis, para kepala desa), juga di sektor publik (MUI, KPU, Bawaslu, KI, Dewan Syariah, Baznas, ICMI, KONI, Dewan Pendidikan, KNPI, dan lain sebagainya);

2.  Melakukan pemetaaan dan analisis penyebaran secara akurat sesuai  dengan

peluang yang dimaksimalkan agar memenuhi syarat keterpilihan;

3.  Melakukan usaha dan langkah terencana agar para kader politik tersebut meraih keberhasilan.  LHKP  dapat  memikirkan  kiranya  ke  depan,  langkah  srategispemberdayaan   kaderMu   dalam   politik   dengan   mengadakan   semacam

pesantren siyasah secara sistematis dan terencana;

4.  Menanamkan nilai, visi, dan orientasi  politik yang berbasis pada idealisme dan misi Muhammadiyah. Politik itu penting, tetapi jalannya terjal dan penuh warna sebagaimana hukum kehidupan. Ketika para kader itu berhasil tetaplah tawadhu dan tidak menjadi “kacang lupa kulit”. Organisasi tidak menuntut materi dari kadernya, yang penting para kader politik menunjukkan sikap     positif dan menghargai wibawa persyarikatan. Semua kader Muhammadiyah yang berkiprah di mana pun sama penting, mulia, dan terhormat sesuai dengan komitmen dan tujuannya untuk memberi manfaat yang terbaik bagi persayarikatan, umat, dan bangsa, serta masyarakat luas. Para kader politik juga perlu menunjukkan sikap positif, sekali bertekad masuk politik, maka tetapkanlah hati secara sungguh-sungguh dengan komitmen, kerja keras, tidak usah manja, jauhi sikap saling menjatuhkan apalagi sesama kader, dan kalau pun belum beruntung jangan mudah menyalahkan Muhammadiyah.

Dalam satu kesempatan Prof. Dr. Haedar Nashir, MSi menegaskan bahwa kita seluruh warga Muhammadiyah untuk menggunakan hak pilihnya secara baik, dengan penuh asa semoga pemilu 2024 dilaksanakan tepat waktu dan berlangsung secara bersih, jujur, dan adli serta demokratis dan bermartabat. Maka bagi para pejuang politik Muhammadiyah ‘jadilah petugas Muhammadiyah, tapi jangan menjadi petugas partai di Muhammadiyah.’ Beda kalau membawa misi Muhammadiyah itu artinya Muhammadiyah yang menyinari, artinya kader itu membawa misi Muhammadiyah, dan bukan sebaliknya. Dukung mendukung atau tolak menolak itu biar menjadi urusan pribadi. Jangan membawa-bawa  simbol organisasi apalagi organisasinya. Lebih jauh dari itu, Haedar pun menegaskan: “Lebih-lebih kepada pimpinan Muhammadiyah dari pusat sampai bawah, teruslah kita menjaga marwah Muhammadiyah, garis Muhammadiyah dan   ketulusan kita mengemban misi dakwah dan tajdid yang mencerdaskan, memberdayakan, dan memajukan umat, bangsa, dan kemanusiaan semesta.”

KHATIMAH

Politik bukan hanya soal proses meraih  kekuasaan, melainkan seni mengelola pemerintahan, sehingga makna politik hakiki adalah kebijaksanaan dan keadaban. Marilah kita jauhkan politik curang, fanatisme buta, dan segala bentuk kejahatan politik, bagi kita warga persyarikatan politik yang dibangun adalah politik berkualitas, bermartabat, damai, inklusif, dan berkemajuan.

Agama dan kekuasaan itu ibarat saudara kembar, agama adalah fondasinya, sementara kekuasaan adalah pelindungnya. Apa saja yang tidak berfondasi bakal hancur, apa saja yang tidak memiliki penjaga akan lenyap (Abu Abdillah al-Qoli, Tadribar, Riyasah wa Tartib Asy-Siyasah, I/81).

(Red)

Posting Komentar