Skandal RTH Rp 60 Miliar: Apakah Haru Suandharu Layak Menjadi Wali Kota Bandung?
"Calon wali kota Bandung 2024"
ZONASIONAL - Calon wali kota Bandung 2024, Haru Suandharu, dikenal sebagai sosok yang telah menempuh perjalanan panjang dalam dunia politik lokal. Dua periode masa jabatan sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bandung, dari 2009-2014 dan 2014-2019, memberinya pengalaman luas dalam legislatif. Namun, rekam jejaknya sempat ternoda oleh keterlibatannya dalam kontroversi pengadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) oleh Pemerintah Kota Bandung, yang sejak awal dianggarkan sejak 2011 tetapi berakhir dengan skandal korupsi bernilai hingga Rp 60 miliar.
Kasus tersebut mencuat menjadi perhatian publik karena anggaran awal yang dipatok Rp 15 miliar melonjak drastis hingga Rp 120 miliar. Hal ini kemudian menjadi bancakan sejumlah pihak, termasuk perantara tanah yang memperkeruh pelaksanaan proyek tersebut. Haru, yang saat itu menjabat sebagai anggota Badan Anggaran (Banggar), turut diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait posisinya dan perannya dalam pengalokasian anggaran. Seusai pemeriksaan di Kantor Sat Sabhara Polrestabes Bandung pada 2 September 2020, Haru mengungkapkan keterkejutannya, “Ya, saya enggak menyangka bisa berakhir seperti itu karena saat itu pembahasannya memang untuk perbaikan dan penghijauan lahan kritis di Kota Bandung.”
Pertanyaan besar kemudian muncul: apakah sosok Haru Suandharu pantas mengemban amanah sebagai wali kota, mengingat sejarah ini? Kepemimpinan seorang pemangku kebijakan sangat erat terkait dengan integritas dan kepercayaan publik. Skandal seperti korupsi proyek RTH memunculkan kekhawatiran, terutama soal pengawasan dan tanggung jawab dalam pengelolaan anggaran besar.
Meski Haru tetap berkomitmen bahwa niat awal proyek tersebut adalah untuk memperbaiki ekosistem perkotaan dengan menambah ruang hijau di Kota Bandung, publik membutuhkan lebih dari sekadar niat baik. Diperlukan bukti konkrit bahwa integritas Haru sebagai pemimpin dapat mengatasi bayang-bayang masa lalu. Tantangan ini semakin besar ketika posisi wali kota bukan hanya soal pengambilan keputusan kebijakan, tetapi juga menjaga kepercayaan masyarakat dengan memastikan tidak ada celah bagi praktik korupsi atau penyalahgunaan wewenang.
Dalam mempertimbangkan pantas tidaknya Haru menjadi wali kota, faktor pengalaman tentu tidak bisa diabaikan. Namun, sejarah terkait skandal korupsi dapat mempengaruhi persepsi publik dan menentukan apakah masyarakat Bandung siap memberinya kesempatan atau justru menginginkan figur baru yang membawa harapan perubahan tanpa beban masa lalu.
Ke depan, jika Haru terpilih, tantangan besar yang harus dihadapinya adalah memastikan transparansi dalam pengelolaan kebijakan, mengedepankan akuntabilitas, serta menunjukkan komitmen nyata dalam mencegah kasus serupa terulang. Kewibawaan seorang pemimpin yang pernah terjerat isu kontroversial harus dibuktikan melalui tindakan dan reformasi yang nyata di bidang tata kelola pemerintahan.***